TfClTSA0GfroTUC5GUd9TUC8BA==

PELAJAR Tak Bisa Membaca: Alarm Gagalnya Pendidikan Kita

 

Masduki Duryat

DUNIA PENDIDIKAN di Kabupaten Indramayu tengah menjadi sorotan setelah muncul temuan mencengangkan dari razia Satpol PP terhadap pelajar yang bolos sekolah.

Bupati Indramayu, Lucky Hakim, mengaku kaget sekaligus prihatin usai melihat video razia tersebut.

Dalam rekaman yang viral, terungkap ada siswa kelas 9 SMP yang sama sekali tidak bisa membaca, serta siswa kelas 12 SMA yang tidak mampu menjawab soal hitungan dasar.

Atau jangan-jangan ini juga terjadi di daerah lain dengan kasus yang sama di Indonesia, hanya tidak terekspose.

Bayangkan, di era digital ini, masih ada anak sekolah yang belum bisa membaca dan menulis.

Bagi sebagian orang, ini mungkin hanya kasus sepele. Namun sejatinya, ini adalah alarm keras kegagalan pendidikan nasional kita.

Sekolah ada, guru mengajar, kurikulum berjalan, tetapi mengapa masih ada anak yang tak bisa membaca? Pertanyaan ini menggugat nurani kita semua tentang arah pendidikan nasional.

Pertanyaannya sederhana tapi tajam: salah siapa? Apakah sistem pembelajaran kita yang keliru? Guru yang abai? Atau orang tua yang lepas tangan?

Pertama, kita harus berani mengkritik sistem Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang diterapkan secara kaku.

Dengan dalih mastery learning, semua anak dipaksa melewati standar seragam. Padahal, tidak semua anak bisa diukur dengan angka yang sama.

Teori tentang kecerdasan majemuk sudah lama dikenal, tetapi praktik pendidikan kita masih saja menuntut keseragaman.

Akibatnya, anak-anak dengan gaya belajar berbeda dianggap “gagal”, padahal sesungguhnya mereka hanya berbeda cara tumbuh.

Kedua, guru juga tak bisa cuci tangan.

Dalam konsep mastery learning, guru wajib memberikan remedial bagi yang tertinggal dan pengayaan bagi yang unggul.

Tetapi di lapangan, remedial sering hanya formalitas, sekadar mengganti nilai. Sementara pengayaan jarang disentuh.

Guru terlalu dibebani administrasi, sibuk mengejar target kurikulum, hingga lupa bahwa tugas utama mereka adalah mendidik, bukan sekadar mengajar.

Ketiga, orang tua pun harus bercermin.

Banyak yang menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan pada sekolah. Padahal, literasi dasar—membaca dan menulis—mestinya mendapat dukungan penuh di rumah sejak dini.

Namun kesibukan ekonomi atau minimnya kesadaran membuat sebagian orang tua abai. Anak pun datang ke sekolah dengan bekal kosong.

Dari sini jelas bahwa kasus anak yang tidak bisa membaca bukanlah kesalahan tunggal.

Ia adalah hasil dari gabungan kelalaian sistem, guru, dan keluarga. Dan lebih dalam lagi, ia mencerminkan paradigma pendidikan kita yang salah arah: terlalu administratif, terlalu seragam, dan terlalu berorientasi angka.

Solusinya? Bukan sekadar ganti kurikulum atau memperbaiki KKM. Kita butuh revolusi paradigma.

Sekolah harus jadi “rumah tumbuh”, bukan pabrik angka.

Guru harus diberi ruang untuk benar-benar mendidik dengan empati, bukan sekadar mengisi rapor. Orang tua harus kembali menjadi pendidik pertama dan utama.

Jika tidak, kasus anak yang tak bisa membaca akan terus berulang. Dan kita akan terus berbangga dengan laporan indah di atas kertas, padahal di lapangan, anak-anak kita justru sedang menjadi korban dari sebuah sistem pendidikan yang kehilangan nurani. (*)

Oleh: Masduki Duryat, Dosen Bidang Politik Pendidikan, Agama, dan Humaniora; Pemerhati Pendidikan.

Artikel ini merupakan pendapat atau karya pribadi penulis. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih-Redaksi)

Komentar0

Simak artikel pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih kanal favoritmu! Akses berita Proinbar.com lewat:

Advertisement


Type above and press Enter to search.

close
close