![]() |
Dudung Indra Arisksa |
DALAM sistem hukum
Indonesia, asas lex superior derogat legi inferiori memiliki arti bahwa
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang
lebih rendah apabila terjadi pertentangan.
Asas ini menjadi pilar
penting dalam menjaga hierarki dan konsistensi norma hukum.
Dalam konteks
Pemilihan Kepala Desa (Pilkades), landasan hukum utamanya terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa beserta perubahan dan penguatan
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024, yang substansinya mengatur
poin perubahan dan inti perubahan;
1. Dana Konservasi/Rehabilitasi Desa di area
lingkungan alam/kawasan khusus berhak dana konservasi/rehabilitasi.
2. 1. Pilkades-minimal harus 2 calon; jika hanya 1, ada perpanjangan
pendaftaran & dan mekanisme musyawarah.
3. 2. Masa Jabatan Kepala Desa diperpanjang jadi 8
tahun; maksimal 2 periode (berturut-turut atau tidak).
4. 3. Tunjangan Purnatugas Kepala Desa, BPD,
Perangkat Desa berhak mendapat tunjangan purnatugas.
5. 4. Pendapatan Desa Diperjelas sumbernya; 10 persen
pajak/retribusi daerah dialokasikan; adanya sanksi untuk transfer jika desa/d
pemerintah daerah lalai.
6. 5. Peralihan Jabatan (Transisi) Pejabat sebelumnya bisa kembali mencalonkan
berdasarkan periode; aturan transisi masa jabatan dan perangkat desa ASN.
7. 6. Pelaporan UU Pemerintah harus laporan
pelaksanaan ke DPR paling lambat 3 tahun setelah berlaku.
Dalam konteks Pilkades
saat ini, ada problematika muncul ketika aturan teknis pelaksanaan berupa
Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri)
yang seharusnya menjadi turunan UU belum disahkan atau masih dalam proses
penyusunan.
Dalam kondisi ini, pemerintah daerah sering dihadapkan pada dilema.
Apakah penyelenggaraan
Pilkades dapat dilakukan hanya berlandaskan pada norma umum dalam UU, atau
harus menunggu hadirnya aturan teknis yang lebih rinci.
Di sinilah asas lex
superior derogat legi inferiori menjadi penting.
Karena Undang-Undang
memiliki kedudukan lebih tinggi daripada PP dan Permendagri, maka ketentuan
dalam UU tetap berlaku dan mengikat, meskipun aturan pelaksanaannya belum
tersedia.
Dengan kata lain,
kekosongan hukum di level teknis tidak dapat membatalkan keberlakuan UU itu
sendiri.
Prinsip ini menjaga
agar tidak terjadi stagnasi pemerintahan desa akibat alasan administratif.
Sebagai contoh, jika
UU telah mengatur bahwa Pilkades wajib dilaksanakan setiap enam tahun sekali,
maka ketentuan itu tetap harus dipatuhi meskipun PP atau Permendagri yang
mengatur teknis pencalonan, daftar pemilih, dan tata cara pemungutan suara
belum diterbitkan.
Pemerintah daerah
dapat mengacu langsung pada norma umum UU serta mengadopsi aturan transisional
melalui peraturan bupati/walikota sebagai langkah bridging regulation, selama
tidak bertentangan dengan norma yang lebih tinggi.
Meski demikian,
penerapan asas ini juga memiliki keterbatasan.
UU hanya memuat norma
dasar, sehingga tanpa aturan teknis ada potensi multitafsir yang berisiko
menimbulkan konflik hukum maupun sosial.
Oleh karena itu,
penerapan asas lex superior derogat legi inferiori bersifat sementara dan tidak
boleh menggantikan kewajiban pemerintah untuk segera membentuk peraturan
turunan.
PP dan Permendagri
tetap dibutuhkan agar pelaksanaan Pilkades berjalan seragam, akuntabel, dan
tidak menimbulkan celah hukum.
Dengan demikian,
penerapan asas lex superior derogat legi inferiori dalam konteks Pilkades dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. 1. UU Desa sebagai lex superior tetap berlaku dan
mengikat meski aturan teknisnya belum ada.
2. 2. Aturan teknis yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan UU, dan kekosongan teknis dapat dijembatani dengan
peraturan kepala daerah sepanjang tidak menyalahi norma UU.
3. 3. Ketiadaan PP/Permendagri tidak menghapus
kewajiban penyelenggaraan Pilkades, meskipun berpotensi menimbulkan problem
teknis yang harus dikelola secara hati-hati.
4. 4. Segera disahkannya peraturan turunan menjadi
keharusan, demi menjamin kepastian hukum, keseragaman, serta perlindungan hak
politik masyarakat desa.
Kesimpulan Pilkades
secara yuridis dapat dilaksanakan dengan menggunakan UU no 3 tahun 2024 tentang perubahan kedua atas
UU no 6 tahun 2014 yang teknisnya menggunakan aturan turunan transisi yakni
semua aturan yang terkait teknis Pilkades dibawah UU.
Semoga Bermanfaat.
OLEH; DR
DUDUNG INDRA ARISKA SH, MH, Penulis
adalah Dosen Fakultas Hukum Pasca Sarjana Universitas Wiralodra Indramayu.
Artikel ini merupakan pendapat atau karya pribadi penulis. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih-Redaksi)
Komentar0