![]() |
Prof Dr Harris Arthur Hedar, SH, MH/Foto Ist |
RANCANGAN Undang-Undang
Perampasan Aset yang akan disahkan mendapat sorotan luas.
Sebab RUU yang
digadang-gadang sebagai senjata ampuh negara untuk melawan korupsi dan
kejahatan luar biasa itu bisa disalahgunakan.
Hal ini karena adanya
beberapa pasal yang kontroversi dan multitafsir.
RUU ini punya tujuan
mulia. Tetapi ada 5 pasal yang harus dicermati karena hukum bisa menjadi
menakutkan daripada fungsi melindungi.
Ini bisa menurunkan
kepercayaan rakyat terhadap hukum dan negara.
Sebelum disahkan,
sebaiknya pasal-pasal tersebut diperbaiki.
Pasal 2 mendalilkan
negara bisa merampas aset tanpa menunggu putusan pidana. Masalah yang timbul
adalah menggeser asas praduga tak bersalah.
Risikonya, pedagang atau
pengusaha yang lemah dalam administrasi pembukuan, kekayaannya bisa dianggap
'tidak sah'.
Demikian juga Pasal 3,
yang menyatakan aset dapat dirampas meskipun proses pidana terhadap orangnya
tetap berjalan.
Ini akan menimbulkan
dualisme hukum perdata dan pidana. Risikonya masyarakat bisa merasa dihukum dua
kali: aset dirampas, sementara dirinya tetap diadili.
Berikutnya Pasal 5
ayat (2) huruf a, mengatakan perampasan dilakukan bila jumlah harta dianggap
'tidak seimbang' dengan penghasilan sah. Persoalannya frasa kalimat 'tidak
seimbang' sangat subjektif.
Risikonya seorang
petani yang mewarisi tanah tanpa dokumen lengkap bisa dicurigai, karena asetnya
dianggap lebih besar dari penghasilan hariannya.
Pasal 6 ayat (1) juga
perlu dicermati. Aset bernilai minimal Rp 100 juta bisa dirampas. Persoalannya
ambang batas nominal bisa salah sasaran.
Karena seorang buruh
yang berhasil membeli rumah sederhana Rp 150 juta bisa terjerat, sementara
penjahat bisa menyiasati dengan memecah aset di bawah Rp 100 juta.
Selanjutnya Pasal 7
ayat (1) yang menyatakan aset tetap bisa dirampas meskipun tersangka meninggal,
kabur, atau dibebaskan. Persoalannya hal ini bisa merugikan ahli waris dan
pihak ketiga yang beritikad baik.
Risikonya, anak-anak
bisa kehilangan rumah warisan satu-satunya karena orang tuanya pernah dituduh
tindak pidana.
Yang juga penting
untuk dicermati adalah prosedur perampasan (blokir, sita, pembuktian), di mana
didalilkan setelah aset disita, pihak yang keberatan harus membuktikan bahwa
harta itu sah (reverse burden of proof).
Ini membalik beban
pembuktian ke rakyat. Risikonya, rakyat yang tidak paham hukum bisa kehilangan
aset karena tidak mampu menunjukkan dokumen formal.
Karena itu, saya
menyarankan pembahasan RUU memperjelas definisi pasal-pasal yang kontroversial
tersebut.
Mulai dari Istilah
'tidak seimbang', di mana harus punya ukuran objektif, laporan pajak, standar
profesi, atau data ekonomi.
Juga perlindungan
kepada pihak ketiga dan ahli waris, untuk ditegaskan bahwa harta orang
beritikad baik tidak boleh dirampas.
Pun demikian soal
pembuktian. Harus tetap menjadi beban aparat penegak hukum.
Karena siapa yang
menuduh wajib membuktikan, bukan rakyat. Termasuk harus ada putusan pengadilan
independen sebagai syarat mutlak perampasan, karena tidak boleh ada perampasan
tanpa persetujuan hakim.
Begitu pula proses
perampasan, harus transparan dan mengutamakan akuntabilitas publik sehingga
proses perampasan harus terbuka, diawasi media dan masyarakat.
Negara juga harus
menyediakan bantuan hukum gratis, terutama bagi rakyat kecil yang terdampak.
Terakhir, sosialisasi
dan literasi hukum harus dikerjakan masif. Rakyat harus diedukasi agar tahu
hak-haknya, sehingga tidak mudah ditakut-takuti.
Karena ibarat pedang
bermata dua, rakyat kecil bisa dikriminalisasi hanya karena lemah administrasi.
Sedangkan orang kaya bisa melindungi aset dengan pengacara dan dokumen. (*)
Oleh: PROF
DR HARRIS ARTHUR HEDAR, SH,
MH, (Guru Besar Universitas Negeri Makassar, Ketua Dewan Pembina Serikat Media
Siber Indonesia (SMSI).
Artikel ini merupakan pendapat atau karya
pribadi penulis. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis.
(Terimakasih-Redaksi)
Komentar0