TfClTSA0GfroTUC5GUd9TUC8BA==

JANJI 20 Persen yang Getir: Potret Pendidikan di Indramayu

 

Masduki Duryat

PENDIDIKAN adalah urat nadi masa depan bangsa. Konstitusi telah mengamanatkan dengan tegas bahwa sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD harus dialokasikan untuk sektor pendidikan.

 

Angka itu sering dijadikan bukti keseriusan negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

Namun, di lapangan—terutama di daerah seperti Indramayu—janji itu kerap terdengar getir.

 

Masih banyak sekolah di pedesaan yang rusak dan belum tersentuh perbaikan.

 

Guru honorer tetap bergaji rendah dan menanti kepastian status. Anak-anak di pelosok kesulitan mengakses internet dan fasilitas belajar berbasis teknologi.

 

Maka, pertanyaan yang layak diajukan adalah: ke mana sebenarnya arah 20 persen anggaran pendidikan itu mengalir?

 

Dana Besar, Rasa Kecil

 

Secara administratif, angka 20 persen itu memang terpenuhi. Tapi jika ditelusuri lebih dalam, sebagian besar terserap untuk belanja rutin, bukan penguatan mutu pendidikan.

 

Ironisnya, kebijakan pemerintah pusat yang memangkas Dana Transfer ke Daerah (TKD) justru memperlemah kemampuan fiskal daerah untuk membenahi pendidikan di wilayahnya masing-masing.

 

Indramayu termasuk daerah yang merasakan dampak itu. Sekolah-sekolah di perdesaan masih harus bergantung pada kreativitas kepala sekolah dan inisiatif masyarakat setempat untuk memperbaiki ruang belajar.

 

Banyak program pendidikan yang akhirnya mandek karena dana pusat tak turun sesuai kebutuhan. Ini memperlihatkan paradoks besar: anggaran pendidikan membengkak di pusat, tapi mengerut di daerah.

 

Guru: Pahlawan yang Kian Rapuh

 

Guru adalah ujung tombak pendidikan. Namun di Indramayu, masih banyak guru honorer yang menerima honor di bawah UMR.

Mereka tetap datang ke sekolah, mengajar dengan semangat, meski penghasilan tak cukup untuk menopang hidup.

 

Kondisi ini menunjukkan bahwa kesejahteraan guru belum menjadi prioritas. Padahal, guru yang tenang ekonominya akan lebih fokus membimbing muridnya.

 

Kesejahteraan bukan hanya soal gaji, tetapi penghargaan terhadap profesi pendidik.

 

Banyak guru di Indramayu bekerja dengan dedikasi tinggi, tetapi masih menghadapi beban administratif dan birokrasi yang melelahkan. Di tengah wacana reformasi pendidikan, nasib guru kerap luput dari perhatian.

 

Literasi dan Kekerasan di Sekolah

 

Krisis literasi juga masih membayangi dunia pendidikan Indramayu. Budaya baca di kalangan siswa rendah, sementara akses ke bahan bacaan berkualitas sangat terbatas. Banyak sekolah yang tidak memiliki perpustakaan yang layak.

 

Lebih ironis lagi, kekerasan di sekolah masih kerap terjadi, baik antar siswa maupun antara guru dan murid. Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan menumbuhkan karakter, bukan arena tekanan dan ketakutan.

 

Pendidikan karakter yang sesungguhnya bukan soal menambah jam pelajaran agama atau moral, melainkan menumbuhkan empati, rasa hormat, dan keadilan dalam praktik pendidikan sehari-hari. Sayangnya, hal-hal inilah yang sering terlupakan dalam hiruk pikuk kurikulum baru.

 

Ketimpangan Digital dan Dunia Kerja

 

Pandemi lalu membuka luka lama: kesenjangan digital antara kota dan desa.

 

Anak-anak di wilayah perkotaan bisa belajar daring dengan gawai dan internet cepat, sedangkan di pelosok Indramayu banyak yang harus berjalan ke titik sinyal untuk mengunduh tugas.

 

Dalam konteks ini, pemerataan akses teknologi menjadi mutlak, bukan sekadar program tambahan.

 

Selain itu, dunia pendidikan kita juga belum sepenuhnya terkoneksi dengan kebutuhan dunia kerja lokal.

 

Indramayu memiliki potensi besar di sektor pertanian, perikanan, dan energi, namun banyak lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) yang belum siap bekerja di sektor-sektor itu.

 

Kurikulum dan praktik belajar masih belum sinkron dengan potensi daerah.

 

Pendidikan yang ideal seharusnya berakar pada kekuatan lokal, bukan hanya mengikuti pola nasional yang seragam.

 

Menata Ulang Arah dan Keberpihakan

 

Masalah pendidikan di Indramayu—dan Indonesia pada umumnya—tidak bisa diselesaikan dengan menambah angka anggaran semata. Yang lebih penting adalah menata ulang keberpihakan.

 

Anggaran pendidikan harus menyentuh ruang kelas, guru, dan murid, bukan berhenti di meja birokrasi.

 

Pemerintah daerah perlu lebih aktif mengawal dana pendidikan, memastikan transparansi penggunaan, serta melibatkan masyarakat dalam pengawasan.

 

Pendidikan bukanlah proyek politik jangka pendek, melainkan investasi jangka panjang bagi peradaban. Dan investasi ini tidak bisa dilakukan dengan setengah hati.

 

Menutup Luka, Menyemai Harapan

 

Indramayu sebenarnya punya banyak potensi manusia dan sumber daya pendidikan yang luar biasa. Banyak guru berdedikasi tinggi, siswa cerdas, dan komunitas literasi yang tumbuh dari bawah.

 

Mereka hanya membutuhkan dukungan nyata dan kepemimpinan yang berpihak pada pendidikan yang bermutu dan berkeadilan.

 

Karena sejatinya, masa depan Indramayu tidak akan ditentukan oleh berapa besar angka anggaran di APBD, tetapi oleh seberapa tulus dan serius kita menjadikannya ladang investasi bagi manusia.

 

Selama pendidikan masih diperlakukan sebagai beban, bukan kesempatan, maka 20 persen itu akan terus terasa getir—indah dalam konstitusi, tetapi pahit dalam kenyataan. (*)

 

Oleh: Masduki Duryat, Rektor Institut  Studi Islam Al-Amin Indramayu dan Dosen bidang Politik, Agama, dan Pendidikan UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon. Tinggal di Indramayu.

 

Artikel ini merupakan pendapat atau karya pribadi penulis. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih-Redaksi)

Komentar0

Simak artikel pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih kanal favoritmu! Akses berita Proinbar.com lewat:

Advertisement


Type above and press Enter to search.

close
close