![]() |
Masduki Duryat |
MEMIMPIN itu menderita, memimpin itu tanggungjawab, memimpin itu memotivasi,
demikian yang ditulis oleh Alfan Alfian.
Tentu banyak lagi sederet kalimat untuk menjelaskan tentang makna
kepemimpinan.
Mungkin juga ada yang menulis pemimpin sama dengan kekuasaan yakni sebuah kesempatan dan peluang untuk
memperkaya diri dan kroninya.
Atau mungkin juga ada yang ‘aneh’—di zaman Kalatida, zaman edan seperti
yang disampaikan Ronggo Warsito—masih ada yang mengatakan bahwa kekuasaan
bukanlah segalanya, kekuasaan itu intinya adalah mensejahterakan.
Yang pasti pendekar sejati bukanlah pemimpin berkelas salon, yang merengek
pada dan takut kehilangan kekuasaan.
Sehingga begitu masa jabatannya habis ingin mencari penggantinya yang
diharapkan bisa meneruskan keinginannya atau untuk menutupi ‘aib’ selama
kepemimpinannya.
Pemimpin otentik; Tidak Terjebak pada lipservice
Pemimpin otentik tidak perlu bedak dan gincu. Ia tidak takut keramain
kerumunan, dan juga pada kesepian dan kesendirian.
Ia tidak perlu polesan yang terjebak pada lipservice.
Pemimpin merubah kerumunan menjadi barisan, jamaah, para pengikut yang
visioner, para kader yang mumpuni.
Di wilayah dan segmen apa saja—termasuk politik—pemimpin sejati tetap
sejati, karakternya tidak akan lentur oleh godaan.
Pemimpin
sejati tidak mengandalkan kesombongan untuk menutupi kelemahan, ingin dilayani,
antikritik, bermental feodal untuk mempertahankan kekuasaannya dengan
menghalalkan segala cara.
Kalau ini
yang dilakukan tidak hanya Petruk saja dalam kisah inovasi pewayangan, bisa
jadi Raja.
Tapi
meminjam bahasa Nurcholish Madjid, karena kita telah mengalami demokrasi ...
setan gundul pun, kalau jadi Presiden/gubernur/bupati/camat/kuwu pilihan
rakyat, apa mau dikata.
Persoalannya, masih adakah pemimpin sejati, ketika di Indonesia misalnya
untuk memilih seorang pemimpin masuk kategori highcost?
Terlalu mahal, sehingga banyak di antara pemimpin kita yang mengalami
disorientasi nilai, ujung akhirnya korupsi dan menafi’kan perjuangan untuk
mensejahterakan rakyatnya.
Gelap mata dan kehilangan keteladan, lupa bahwa ia seorang pemimpin yang
akan menjadi prototype dan akan diadaptasi perilakunya oleh para pengikutnya.
Kepemimpinan
Nabi Ibrahim; Rela Berkorban untuk Rakyatnya
Pemimpin yang rela berkorban untuk kemajuan negara dan rakyatnya—bahkan
untuk generasi berikutnya—ini yang dilakukan Nabiyullah Ibrahim as dan
nabi-nabi lain juga selalu berkomitmen untuk berkorban bahkan sampai ke tingkat
nyawa hanya untuk kepentingan rakyat dan agamanya.
Dalam QS. Ash-Shaffat [37]: 102) digambarkan: “Maka
ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim)
berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku!
Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan
mendapatiku termasuk orang yang sabar.”
Dalam “Prophetic Leadership”-nya Achyar Zein
disebutkan: Nabi Ibrahim as juga rela berkorban untuk mempertaruhkan nyawa
ketika menghadapi para penyembah berhala dengan sebuah konsekuensi hidup atau
mati.
Konsekuensi ini karena yang dihadapi Nabi Ibrahim
masyarakat yang tidak mau berpikir secara rasional.
Di saat yang sama beliau juga menjadi korban
perasaan dan menghadapi kendala psikologis dalam perjuangannya menegakkan
Aqidah karena harus berhadapan dengan orang tuanya sendiri yang notabenenya
sebagai pembuat berhala.
Tidak berhenti sampai di situ ia pun harus
menghadapi kenyataan untuk dibakar hidup-hidup dan diasingkan.
Berhadapan dengan raja/pemimpin yang dhalim dan
tiran serta masyarakat yang kejam sehingga nyawa selalu menjadi ancaman bagi
nabi Ibrahim as.
Bentuk pengorbanan lain yang dilakukan oleh
nabiyullah Ibrahim adalah pengorbanannya yang luar biasa untuk membangun
dasar-dasar baitullah—yang dapat dipastikan—bahwa nabi Ibrahim tidak pernah
menerima fee uang proyek dari pembangunan yang dikerjakannya ini.
Bahkan sebaliknya nabi Ibrahim banyak berkorban
dari sisi harta, tenaga dan pemikiran dalam pembangunan baitullah ini yang sama
sekali bukan untuk kepentingan nabi Ibrahim dan keluarganya, tetapi untuk
kepentingan ummat dan masyarakat.
Inilah pemimpin dan negarawan sejati, yang rela
berkorban untuk kepentingan rakyatnya di atas kepentingan pribadinya.
Filosofi yang digunakannya bukan sekedar
lipservice dengan mengumbar janji tanpa bukti dan pada saat yang sama
melakukan tindak memperkaya diri, tetapi “apa yang bermanfaat untuk rakyat,
akan dilakukannya”.
Pemimpin itu teladan, Allah catat dalam sejarah
yang diabadikan dalam Surat Al Mumtáhanah ayat 4: "qad kānat lakum
uswatun ḥasanatun fī ibrāhīma
wallażīna ma'ah”
(Sungguh, telah ada suri teladan yang baik bagimu
pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya)
Ayat ini menyatakan, Nabi Ibrahim sebagai seorang
pemimpin harus diikuti dan ditaati karena kepribadian, ucapan dan tingkah
lakunya yang saling bersesuaian, bukan hanya lipservice—seperti janji
para politisi kita—yang menurut M. Alfan Alfian adalah lazim saja.
Kalau
Rene Descartes beradagium cogito ergo sum—aku perpikir, maka aku
ada—pemimpin politik; aku berjanji maka aku ada.
Politisi
selalu berdalih, janji kampanye itu satu hal, realisasi adalah hal lain. Ini
mirip sindiran mantan PM Uni Soviet Nikita Khrushchev politisi itu semuanya
sama; mereka janji membangun jembatan, meskipun tidak ada sungai.
Allah SWT juga berfirman dalam QS. An-Nahl ayat 120:
“inna ibrāhīma kāna ummatang
qānital lillāhi ḥanīfā, wa lam
yaku minal-musyrikīn”.
(Sungguh, Ibrahim adalah seorang imam (yang dapat
dijadikan teladan), patuh kepada Allah dan hanif. Dan dia bukanlah termasuk
orang musyrik (yang mempersekutukan Allah).
Allah menegaskan bahwa dalam diri Nabi Ibrahim
terdapat teladan, sebab hanya Nabi Ibrahim yang selalu kita sebut dalam shalat,
selain Nabi Muhammad saw.
Doa yang kita baca untuk Nabi Muhammad ketika
tasyahúd selalu disetarakan dengan doa kepada Nabi Ibrahim.
Dalam Islam keteladanan, dikenalkan dengan istilah uswátun
hasánah, yaitu sebuah konsep moralitas seorang pemimpin dalam pola
interaksi, komunikasi dengan rakyatnya.
Sebelum Nabi Ibrahim as hadir saat itu pola
interaksi pemimpin dan masyarakat adalah militeristik dan otoriteristik.
Kemudian Nabi Ibrahim hadir membawa pola interaksi
dengan paradigma baru yaitu mengedepankan moralitas dan contoh teladan yang
baik.
Sebuah gerakan moral yang bersifat soft-power,
dengan menjunjung tinggi keteladanan, penegakan hak asasi manusia dan akhlak
mulia.
Memimpin;
Tugas Suci
Tugas pemimpin merupakan tugas yang suci dan mulia
karena pemberian tugas itu bertujuan hendak mencapai cita-cita yang suci dan
mulia.
Rasul yang mulia, Muhammad SAW. juga teladan yang patut diikuti dalam
konteks kepemimpinan yakni melayani pengikutnya.
Dengan gaya kepemimpinan beliau yaitu servant leadership
menjadikan beliau sebagai pemimpin yang berpengaruh dan memudahkan seorang
pemimpin untuk mencapai tujuannya.
Terutama dalam perbuatannya dalam merawat dan melayani sehingga dapat
mempengaruhi orang-orang di sekitarnya menjadi terdidik dan merasakan
kesejahteraan.
Tidak elok jika ada pemimpin yang menghindari
tanggung jawabnya dengan berbagai dalih mengada-ada atau mencari pembenaran.
Pemimpin seperti itu merupakan penumpang gelap
demokrasi. Hanya mencari popularitas di atas kepatuhan buta pengikutnya.
Bukankah fungsi seorang pemimpin bukan hanya
sekadar sosok untuk memenuhi perangkat organisasi.
Lebih dari itu, pemimpin merupakan role model
untuk memberi citra suatu organisasi.
Sepak terjang pemimpin menggambarkan kredibilitas
pribadi sang pemimpin sekaligus karakter massa pendukung dan kualitas
organisasi pengusungnya.
Maka, seorang pemimpin wajib memiliki berbagai
karakter positif, seperti jujur, melayani, berani, siap dikritik dan rela
berkorban.
Pemimpin harus berani menghadapi kenyataan akibat
ucapan dan perbuatannya yang tidak koneksitas.
Dalam fikih siyasyah moral yang menjadi
dasar kebijakan dan tindakan pemimpin adalah untuk kemaslahatan agama dan
bangsa, kaedah fikih menyebutkan: “tasharruf
imam `ala al-ra`iyyah manuthun bi al-mashlahah“,
(Tindakan pemimpin atas rakyat terikat oleh
kepentingan atau kemaslahatan umum).
Jadi, pemimpin wajib bertindak tegas demi kebaikan bangsa,
bukan kebaikan diri dan kelompoknya semata.
Potret kepemimpinan Nabi Ibrahim dapat
dideskripsikan dari berbagai perintah Allah SWT, dan aksi nyata dalam membawa
cita-cita reformasi untuk perbaikan nasib ummat manusia, sehingga dapat kita
aplikasikan dalam kehidupan nyata. (*)
OLEH;
MASDUKI DURYAT, Penulis adalah
Rektor Institut Studi Islam al-Amin Indramayu dan Dosen Pascasarjana UIN Siber
Syekh Nurjati Cirebon, Tinggal di Kandanghaur Indramayu
Artikel ini
merupakan pendapat atau karya pribadi penulis. Seluruh isi artikel menjadi
tanggungjawab penulis. (Terimakasih-Redaksi)
Komentar0