![]() |
Oleh: Supendi Samian |
DALAM perspektif Islam,
kekuasaan dan ibadah merupakan dua konsep yang saling berhubungan dalam
membentuk nilai politik dan demokrasi.
Para ulama dan pakar Islam melihat bahwa kekuasaan tidak hanya dilihat dari
aspek otoritas politik, tetapi juga dari perspektif
spiritual dan etika.
Di mana
kekuasaan diorientasikan untuk membawa kebaikan bagi masyarakat serta
mencerminkan prinsip-prinsip moral yang bersumber dari ajaran Islam.
Bagaimana para ulama, cendekiawan, dan ahli Islam melihat hubungan antara kekuasaan, jalan ibadah, serta penerapannya dalam membangun nilai
politik dan demokrasi.
Menurut para ulama seperti Imam Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, kekuasaan
adalah amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
Dalam pandangan ini, pemimpin (ulil
amri) berkewajiban menjaga moralitas dan keadilan.
Al-Ghazali dalam "Ihya
Ulumuddin" menekankan bahwa setiap bentuk kekuasaan adalah ujian yang
harus dijalankan dengan nilai kejujuran, keadilan, dan keikhlasan yang
bersumber dari ibadah.
Ibadah di sini bukan hanya ritual, tetapi juga mencakup tindakan-tindakan
yang sesuai dengan perintah Allah untuk mencapai kemaslahatan umum.
Prinsip syura (musyawarah)
dijadikan dasar oleh banyak ulama dalam membangun sistem politik yang lebih
demokratis.
Al-Mawardi dalam "Al-Ahkam
As-Sultaniyyah" menyebutkan pentingnya musyawarah dalam pengambilan
keputusan untuk menciptakan keadilan dan kebersamaan.
Konsep syura ini menjadi landasan
demokrasi Islam yang menghargai partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Di mana
suara rakyat memiliki peran dalam pengambilan keputusan yang adil.
Kekuasaan dalam Islam dipandang sebagai jalan untuk beribadah kepada Allah.
Ini mengacu pada bahwa setiap tindakan pemimpin harus diorientasikan pada
niat yang tulus untuk mencapai ridha Allah.
Ulama seperti Sayyid Qutb dan Yusuf Al-Qaradawi menekankan bahwa politik
dalam Islam adalah bagian dari ibadah yang harus dilandasi dengan nilai-nilai
keadilan, kejujuran, dan integritas.
Hal ini bertujuan agar kekuasaan tidak menjadi sarana untuk kepentingan
pribadi, tetapi untuk kepentingan masyarakat secara luas.
Dalam pandangan Ibnu Khaldun, kekuasaan harus dilandasi dengan nilai-nilai
keadilan, yang merupakan pilar utama dalam menjalankan pemerintahan.
Keadilan dipandang sebagai bagian dari ibadah karena merupakan perintah
langsung dari Allah.
Nilai keadilan dalam Islam menjadi dasar utama dalam membangun sebuah
negara yang demokratis dan sejahtera.
Jika pemimpin berlaku adil, maka masyarakat akan hidup dengan tenteram dan
damai.
Ulama seperti Muhammad Abduh dan Rashid Rida berpendapat bahwa nilai
kesetaraan dan hak asasi manusia sangat dijunjung dalam Islam.
Demokrasi dalam pandangan Islam sejalan dengan prinsip-prinsip ini, di mana
setiap individu dipandang memiliki hak yang sama di mata hukum.
Kebebasan berpendapat, hak memilih pemimpin, dan hak mendapatkan keadilan
dianggap sebagai bagian dari hak asasi yang harus dilindungi.
Ulama-ulama seperti Imam Syatibi dalam karya-karyanya tentang maqashid syariah menyatakan bahwa tujuan
utama kekuasaan adalah untuk mencapai kemaslahatan umum atau kebaikan bersama.
Konsep ini menekankan bahwa segala bentuk kebijakan dan keputusan politik
harus membawa manfaat bagi masyarakat, bukan untuk kepentingan sekelompok orang
atau golongan tertentu.
Secara keseluruhan, para ulama Sunni Aswaja mengajarkan
bahwa kekuasaan yang dijalankan sebagai ibadah akan menanamkan nilai-nilai
moral dalam politik dan membangun sistem demokrasi yang adil, merata, dan
beretika.
Dengan berpegang pada prinsip-prinsip Islam yang menekankan keadilan,
kejujuran, kesetaraan, dan musyawarah, kekuasaan dapat berfungsi sebagai jalan
ibadah yang membawa kesejahteraan dan kebaikan bagi seluruh masyarakat. (*)
Oleh: SUPENDI SAMIAN, Ketua STIDKI NU
Indramayu
Artikel ini merupakan
pendapat atau karya pribadi penulis. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab
penulis. (Terimakasih-Redaksi)
Komentar0