TfClTSA0GfroTUC5GUd9TUC8BA==

HIKMAH Hari Raya Idul Adha

Supendi Samian, Ketua STIDKI NU Indramayu.

HARI RAYA Idul Adha, atau yang dikenal sebagai Hari Raya Qurban, bukan sekadar ritus tahunan umat Islam. Di balik penyembelihan hewan qurban, tersimpan hikmah mendalam yang merangkum nilai ketaatan, keikhlasan, dan kepedulian sosial.

Kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS, yang menjadi landasan syariat qurban, mengajarkan kita tentang pengabdian total kepada Allah SWT. Namun, lebih dari itu, Idul Adha adalah panggilan hati untuk menumbuhkan empati dan tanggung jawab sosial, terutama bagi mereka yang hidup dalam kecukupan.

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman dalam Surah Al-Hajj ayat 37, bahwa bukan daging atau darah hewan qurban yang sampai kepada-Nya, melainkan ketakwaan pelakunya.

Ketakwaan ini tidak hanya terwujud dalam niat tulus beribadah, tetapi juga dalam wujud nyata: berbagi dengan mereka yang kekurangan. Di tengah ketimpangan sosial yang masih nyata—di mana sebagian masyarakat bergelimang kemewahan sementara yang lain berjuang untuk kebutuhan dasar—qurban menjadi sarana untuk mengetuk pintu hati para aghniya, orang-orang kaya, agar lebih peka terhadap realitas di sekitar mereka.

Di Indonesia, qurban memiliki makna kultural yang mendalam. Bagi masyarakat di desa-desa atau daerah pinggiran, daging qurban bukan sekadar makanan, tetapi simbol kehadiran dan perhatian dari mereka yang lebih mampu.

Momen Idul Adha menjadi waktu langka ketika keluarga-keluarga sederhana dapat menikmati daging segar, sesuatu yang seringkali hanya menjadi impian di hari-hari biasa.

Inilah yang menjadikan qurban lebih dari sekadar ibadah individual; ia adalah amal sosial yang merangkul nilai keadilan dan solidaritas.

Perspektif Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) menegaskan bahwa qurban bukan hanya soal ritual, tetapi juga tentang membangun peradaban yang peduli dan berkeadilan.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyebut qurban sebagai sarana untuk "menyembelih" keserakahan dan ego, yang kerap membuat manusia lupa pada penderitaan orang lain. 

Sementara itu, KH. Hasyim Asy’ari menekankan pentingnya keseimbangan antara ibadah ritual dan muamalah, sehingga qurban tidak hanya menjadi kewajiban agama, tetapi juga tanggung jawab moral untuk mempererat hubungan sosial.

Namun, realitas di lapangan seringkali menunjukkan tantangan. Distribusi daging qurban tidak selalu merata, dan kesadaran sosial sebagian kalangan masih terbatas pada lingkaran terdekat.

Padahal, sebagaimana sabda Nabi SAW dalam hadis riwayat Ahmad, qurban adalah kesempatan untuk memuliakan hari besar Islam dengan berbagi, bahkan sekadar dengan tetangga. Di sinilah peran strategis para aghniya menjadi penting. 

Mereka bukan hanya pelaku qurban, tetapi juga agen perubahan sosial yang mampu menjembatani kesenjangan melalui distribusi kekayaan yang adil.

Idul Adha mengajak kita untuk keluar dari zona nyaman, menengok ke bawah, dan memahami bahwa keberagamaan sejati tidak hanya terletak pada ibadah formal, tetapi juga pada kepekaan terhadap kondisi sesama. 

Qurban adalah cerminan Islam rahmatan lil ‘alamin—agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam melalui kasih sayang dan keadilan sosial.

Maka, mari jadikan momen Idul Adha sebagai panggilan untuk memperkuat solidaritas, menumbuhkan empati, dan mewujudkan masyarakat yang lebih beradab.

Sebab, dalam setiap potong daging qurban, terselip harapan untuk sebuah dunia yang lebih adil dan manusiawi. []

Oleh: SUPENDI SAMIAN, Ketua STIDKI NU Indramayu 

Artikel ini merupakan pendapat atau karya pribadi penulis. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terima kasih-Redaksi)

Komentar0

Simak artikel pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih kanal favoritmu! Akses berita Proinbar.com lewat:

Advertisement


Type above and press Enter to search.

close
close