![]() |
Masduki Duryat |
BEBERAPA hal krusial dalam amanat UUD 1945 yang belum
terlaksana dan berpotensi mosi tidak percaya terkait pendidikan adalah
pembiayaan pendidikan dasar yang belum sepenuhnya merata dan berkualitas, serta
belum terwujudnya pendidikan yang adil dan merata bagi seluruh warga
negara.
Hal ini bertentangan
dengan Pasal 31 UUD 1945 yang mengamanatkan kewajiban pemerintah untuk
membiayai pendidikan dasar dan menjamin pendidikan yang berkualitas.
Jika tidak segera
ditangani, hal ini bisa menjadi alasan kuat untuk mosi tidak percaya.
Salah satu upaya
mewujudkan pendidikan berkualitas—termasuk pada sekolah jenjang
menengah—tersebut, pemerintah mengatur penerimaan murid baru melalui Sistem
Penerimaan Murid Baru (SPMB).
SPMB adalah sistem baru
yang menggantikan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) untuk penerimaan siswa
baru di sekolah.
Tujuannya adalah untuk
pemerataan pendidikan dan peningkatan mutu.
Jumlah siswa per
rombongan belajar (rombel) dibatasi untuk menjaga kualitas pembelajaran, dengan
standar yang berbeda untuk setiap jenjang pendidikan.
SPMB, Mutu Pendidikan dan Jumlah Siswa Per Rombel
Ada korelasi antara
SPMB dengan kualitas Pendidikan. Beberapa point dapat dikedepankan terkait
dengan SPMB dan mutu Pendidikan ini, bahwa;
Pertama, SPMB bertujuan untuk memastikan penerimaan
siswa yang adil dan merata, serta meningkatkan kualitas Pendidikan;
Kedua, Dengan adanya batasan jumlah siswa per rombel, diharapkan proses belajar
mengajar dapat lebih efektif dan focus;
Ketiga, SPMB juga diharapkan dapat mengurangi praktik-praktik yang tidak sehat
dalam penerimaan siswa, seperti titipan atau tes yang tidak sesuai;
Keempat, Beberapa
sekolah mungkin mengalami kendala dalam pemenuhan standar jumlah siswa per
rombel, terutama di daerah dengan animo tinggi atau keterbatasan
fasilitas.
Untuk menjaga keajegan
kualitas mutu Pendidikan tersebut, maka diatur jumlah Siswa per Rombel dengan
ketentuan;
Pertama, SD: Maksimal 28 siswa per rombel;
Kedua, SMP: Maksimal 32 siswa per rombel;
Ketiga, SMA/SMK: Maksimal 36 siswa per rombel, meskipun beberapa daerah ada
yang menerapkan 40 atau bahkan 48 siswa per rombel sebagai solusi
sementara.
Tetapi dalam kondisi
khusus, seperti animo tinggi atau keterbatasan fasilitas, sekolah dapat mengajukan
dispensasi untuk menerima lebih banyak siswa dari batas maksimal.
Namun, hal ini harus
dilaporkan ke Dapodik sebelum pengumuman pendaftaran.
Kebijakan KDM Berpotensi Melanggar Regulasi?
Keputusan Gubernur
Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM) dalam melakukan Pencegahan Anak Putus
Sekolah tentu semua sepakat.
Tetapi dengan
kebijakan menambah jumlah siswa maksimal 50 siswa per rombel di sekolah negeri
dengan tidak melibatkan sekolah swasta, ini yang kemudian menimbulkan
perdebatan bahkan dianggap ugal-ugalan dan berpotensi untuk digugat karena
diyakini telah melanggar regulasi.
Bahkan pada pandangan
FKSS SMA Jawa Barat, Keputusan Gubernur yang menetapakan jumlah siswa per
rombel maksimal 50 siswa pada sekolah negeri bertolak belakang dengan Peraturan
Gubernur tentang SPMB yang disusun bersama dengan para pihak, termasuk
FKSS.
Penerapan Keputusan
Gubernur tentang PAPS yang tidak melibatkan sekolah swasta telah mengakibatkan
keterisian SMA swasta di Jabar hanya 30 persen dari target kuota yang
direncanakan.
FKSS juga
mempertanyakan apakah ada izin dari kemendikdasmen terkait penambahan rombel
dan juga mempertanyakan kenapa Keputusan Gubernur bukan Peraturan Gubernur
karena isinya berupa teknis.
Oleh sebab itu FKSS
Jabar juga meminta Dinas Pendidikan Jawa Barat untuk berlaku adil.
Disusunnya regulasi
tentang SPMB -termasuk Permendikbudristek
No. 22 tahun 2023- juga bertujuan untuk menjaga
kualitas Pendidikan.
Pertanyaannya, dengan
jumlah 50 siswa per rombel di sekolah negeri—apalagi tidak dibarengi dengan
sarana dan ukuran kelas yang memadai—apakah kualitas bisa tercapai?
Pada kasus sekolah
negeri tertentu di kegiatan MPLS yang baru dilaksanakan beberapa hari ini,
jumlah 50 siswa per rombel, sangat padat, tidak manusiawi dan jarak pandang
antara siswa dengan papan tulis yang sangat dekat.
Arogansi Kekuasaan dalam Bingkai Kebijakan
Ada aroma yang tidak
sedap dalam implementasi kebijakan jumlah siswa per rombel maksimal 50 siswa di
Jawa Barat ini.
Upaya ‘pembungkaman’ dan ‘pemaksaan’ dengan dibungkus iming-iming—padahal ini kewajiban
pemerintah—agar kepala sekolah diam dan manut tanpa reserve terhadap Keputusan gubernur ini.
Hal ini misalnya
terlihat pada arahan gubernur Jawa Barat saat Rakor dengan jajaran Dinas
Pendidikan Jawa Barat dan Kepala SMAN, SMKN, SLBN Se-Jawa Barat pada Kamis 3
Juli 2025.
Beberapa point arahan
itu misalnya;
Pertama, menertibkan guru ASN yang tidak memiliki visi
yang sama dengan pimpinan, tidak ada ucapan atau postingan yang bertentangan
dengan kebijakan gubernur;
Kedua, Gubernur
akan mendampingi dan melakukan perlindungan kepada Kepala Sekolah selama
mengikuti arahan gubernur;
Ketiga, Setiap kelas maksimal 50
siswa, walaupun bisa juga berisi 37, 36 atau bahkan 35 siswa;
Keempat, Sekolah yang siswanya per rombel 50 maka akan
diutamakan mendapatkan bantuan ruang kelas baru.
Jika point-point
arahan ini benar, maka ada upaya pemaksaan kehendak dengan tidak membuka ruang
dialog yang bersifat solutif, terutama juga bagi sekolah swasta yang memiliki
tanggung jawab yang sama dalam upaya ‘mencerdaskan
anak bangsa’.
Sekolah negeri dan
swasta sama-sama memiliki tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi
beda perlakuan.
Inikah kemanusiaan
yang adil dan beradab? Sejak kapan pemerintah menjadi ‘oposisi’ kebijakan terhadap prakarsa warganya sendiri? (*)
Oleh: Masduki
Duryat, Rektor Institut Studi Islam Al Amin Indramayu dan Dosen Pascasarjana UIN Siber
Syekh Nurjati Cirebon.
Artikel ini merupakan pendapat atau karya
pribadi penulis. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis.
(Terimakasih-Redaksi)
Komentar0